VIVAnews – Masyarakat di tanah air kembali heboh dengan perselisihan budaya antara Malaysia dan Indonesia. Kali ini giliran Tari Tor-tor dan Gordang Sambilan. Dua budaya Mandailing ini mendapat ini rencananya akan diregistrasikan ke dalam warisan budaya mereka agar dapat dilestarikan.
Perselisihan budaya antara Indonesia dan Malaysia tentu bukan pertama kali ini terjadi. Sudah berkali-kali dua negara tetangga serumpun di Asia Tenggara ini direpotkan dengan urusan selisih budaya – selalu Malaysia dianggap mengklaim, dan selalu disusul oleh protes serta reaksi keras masyarakat Indonesia yang merasa dirugikan karena berpendapat budayanya “dicuri” bangsa lain.
Namun demikian, peristiwa serupa selalu terjadi kembali di kemudian hari. Perselisihan budaya antara Indonesia dan Malaysia ini bagai api dalam sekam, yang padam sejenak untuk kemudian meletup kembali dengan skala tak kurang lebih besar dari perseteruan sebelumnya.
Berikut deretan budaya yang diperselisihkan Indonesia dan Malaysia:
Tari Pendet
Tari khas asal Bali ini pertengahan tahun 2009 muncul dalam iklan ‘Enigmatic Malaysia’ di Discovery Channel. Masyarakat Indonesia pun kontan emosi. Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pariwisata pun melayangkan surat protes ke Malaysia.
Tari Pendet penyambutan yang diklaim Malaysia selama ini tidak pernah dipatenkan oleh penciptanya, Wayan Rindi, karena kandungan nilai spiritualnya yang luas ia anggap tak bisa dimonopoli oleh manusia maupun bangsa tertentu. Rindi sendiri menciptakan Tari Pendet penyambutan sekitar tahun 1950. Tari ini merupakan modifikasi dari Tari Pendet sakral.
Tak heran keputusan tidak mematenkan tarian ciptaannya itu membawa penyesalan bagi Rindi. Apalagi Malaysia menggunakan tari itu sebagai iklan promosi kunjungan pariwisata. Tak tanggung-tanggung, seniman kawakan Indonesia Putu Wijaya juga ikut geram atas langkah Malaysia ini.
“Itu sama saja dengan menantang. Ini bukan hanya masalah budaya. Kami tersinggung,” kata dia wkatu itu. Padahal, menurut Putu, seniman Malaysia sendiri keberatan dengan digunakannya Tari Pendet dalam iklan pariwisata Malaysia itu.
Rektor Seni Indonesia (ISI), Wayan Dibia, bahkan jengkel karena Tari Pendet itu jelas-jelas ditarikan di Bali. “Itu direkam sekitar tahun 2005-2006. Saya mengenal dua penari paling depan. Mereka bernama Lusia dan Wiwik yang juga alumni ISI Bali. Tarian itu direkam oleh Bali Record dan mengambil lokasi di Kebun Raya Bedugul, Bali,” paparnya.
Setelah ramai di Indonesia, pemerintah Malaysia pun menyampaikan permohonan maafnya. Kedutaan Malaysia menjelaskan, ada salah paham atas video klip Tari Pendet yang beredar dalam iklan Enigmatic Malaysia. Mereka mengatakan, iklan tersebut tidak dibuat oleh pemerintah Malaysia, melainkan oleh Discovery-Asia Pasifik. Pihak Malaysia bahkan sama sekali tidak dilibatkan.
Kedutaan Malaysia bahkan menegaskan, tak seorang pun di Malaysia yang mengklaim Pendet sebagai tarian asal Malaysia. Discovery Channel yang berkantor di Singapura itu sendiri merupakan pihak ketiga yang mengerjakan iklan pendek berdurasi 30 detik itu.
Batik
Selisih budaya Malaysia-Indonesia atas batik ini juga terjadi tahun 2009, dan berakhir dengan pengakuan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organizations (UNESCO) atas batik sebagai warisan budaya Indonesia. Pengakuan Badan PBB itu disambut perajin batik Indonesia dengan suka cita.
“Menjaga dan membuktikan batik benar-benar budaya asli Indonesia memang berat, karena kita tahu teknik membatik sudah ada sejak ribuan tahun lalu,” kata Ketua Paguyuban Kampoeng Batik Laweyan Solo, Alpha Febela, ketika itu.
Alpha lantas menjelaskan, teknik membatik yang berkembang ribuan tahun lalu memang bukan berasal dari Indonesia, namun kemungkinan dari Timur Tengah dan Mesopotamia yang masuk ke Indonesia berbarengan dengan Islam. Hanya saja, perkembangan batik paling pesat terjadi di Indonesia. “Lihat saja kekayaan motif-motif batik di Indonesia,” kata dia.
Pengakuan UNESCO atas batik Indonesia ini tak pelak menjadi modal dan motivasi besar bagi pengusaha batik dalam negeri untuk mengembangkan produk batik mereka ke tingkat dunia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan mencanangkan tanggal 2 Oktober sebagai hati batik.
Di sisi lain, Malaysia melayangkan keberatan asal pengakuan UNESCO atas batik Indonesia. Malaysia bersikukuh, negeri mereka juga memiliki corak batik khas yang berbeda dengan Indonesia, termasuk dari segi teknik pembuatan. Pengakuan UNESCO pun dipandang Malaysia akan merugikan industri batik tradisional Malaysia.
Angklung
Klaim Malaysia atas angklung dituangkan dalam situs www.malaysiana.pnm.my yang menyeruak pada tahun 2010. Disebutkan, angklung adalah salah satu warisan budaya Malaysia. Di situs itu juga dijelaskan tentang bahan dasar angklung, fungsi, dan cara bermainnya. Ada pula foto-foto alat musik angklung.
Suara angklung bahkan bisa didengar dengan mengklik gambar speaker yang ada pada laman itu. Sementara situs www.musicmall_asia.com menyatakan, angklung berasal dari Malaysia, tepatnya dari Kota Johor. Disebutkan, musik angklung merupakan pengiring kesenian kuda kepang.
Klaim Malaysia atas angklung itu membuat sejumlah budayawan tanah air melakukan berbagai upaya untuk membuktikan bahwa angklung merupakan budaya asli Indonesia. Di Bandung misalnya, Saung Angklung Udjo (SAU) mendirikan museum angklung yang pertama sekaligus satu-satunya di Indonesia.
Museum angklung ini juga menjadi tempat penelitian dan tempat untuk menimba ilmu kerajinan serta kesenian Jawa Barat, khususnya angklung. “Museum ini merupakan artefak budaya Sunda dan bentuk tanggung jawab kami terhadap kebudayaan daerah,” kata Direktur Utama SAU, Taufik Hidayat.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga mendaftarkan angklung menjadi alat musik warisan dunia ke UNESCO. Pakar seni dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Sistriaji, menekankan pentingnya melestarikan angklung. “Masyarakat Indonesia kerap amnesia, melupakan potensi-potensi lokal. Ini berbahaya bagi Indonesia,” kata dia.
Upaya berbagai elemen masyarakat Indonesia untuk “mengembalikan” angklung ke negeri ini juga terlihat dari dirilisnya buku ‘Diplomasi Angklung’ karya Sulhan Syafii. Dalam buku itu, diungkap sejumlah fakta tentang angklung.
Wayang Kulit dan Gamelan
Situs pemerintah Malaysia, warisan.gov.my, memasukkan wayang kulit dan gamelan ke dalam Statistik Daftar Warisan dan Warisan Kebangsaan Malaysia. Wayang kulit terdaftar dengan nomor P.U.(A) 85, sedangkan gamelan terdaftar dengan nomor P.U.(A) 78. Persoalan ini sempat mengemuka tahun 2009.
Gamelan yang ada di Malaysia sama dengan gamelan yang berasal dari Jawa. Alat-alatnya terdiri dari Gong Agong, Gong Sawokan, Gendang Ibu, Gendang Anak, dan Saron. Gamelan di Malaysia pertama kali diperkenalkan di Pahang pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Muaddzam Shah.
Permaisuri sang Sultan, Fatimah, dan istri kedua Sultan, Che Bedah, juga ikut berperan menyebarkan gamelan. Tahun 1913, gamelan di Malaysia lantas menyebar ke Trengganu, dibawa oleh putri Sultan Pahang, Mariam, yang ketika itu menikah dengan Sultan Trengganu, Sultan Sulaiman badrul Alam Syah.
Sultan Sulaiman bahkan menciptakan berbagai lagu dan tarian dengan iringan gamelan, termasuk Lambang Sari, Geliung, Ketam Renjong, Togok, Gagak Seteri, dan Lancang Kuning. Akar sejarah inilah yang membuat Malaysia mendaftarkan gamelan dan wayang kulit sebagai warisan budaya mereka.
Bisa diperkirakan, Indonesia memprotes pemerintah Malaysia. Apalagi wayang kulit telah ditetapkan sebagai warisan budaya asli Indonesia oleh UNESCO pada tahun 2004. “Kami tersinggung. Persatuan Pedalang Indonesia keberatan,” kata Ki Dalang Mantheb Sudharsono.
Kejengkelan Ki Mantheb semakin menjadi karena di tahun 2004 itu, ia sendiri yang mewakili Indonesia menerima pengakuan UNESCO atas wayang kulit sebagai budaya asli Indonesia. “Di Indonesia, wayang ada dua, wayang kulit dan wayang golek. Wayang kulit hanya ada di Jawa,” ujarnya.
Lagu Rasa Sayange
Oktober 2007, Malaysia memakai lagu ini dalam kampanye parisiwata "Malaysia Truly Asia". Rakyat Indonesia pun marah. Jero Wacik yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Parawisata menegaskan, Indonesia menyimpan sejumlah bukti kuat bahwa Rasa Sayange itu warisan Maluku.
Salah satu bukti kuat itu adalah rekaman milik Lokananta, perusahaan yang pernah merekam lagu itu dalam piringan hitam pada tahun 1958. Presiden Soekarno pun suka dengan lagu itu. Alhasil dalam hajatan Asian Games di Jakarta, 15 Agustus 1962, Soekarno membagi-bagikan piringan hitam itu kepada kontingen setiap negara sebagai “buah tangan” dari Jakarta.
Bukti lain yang memperkuat kepemilikan Indonesia atas lagu Rasa Sayange juga bisa ditelusuri hingga ke negeri Jepang. Di negeri Sakura itu ada Minoru Endo Music Foundation, yayasan yang pernah mengumpulkan lagu-lagu rakyat yang populer di kawasan Asia.
Namun Malaysia tak hirau. Menteri Malaysia Bidang Informasi, Komunikasi dan Kebudayaan, Rais Yatim, menilai klaim Indonesia atas Rasa Sayange sungguh tak realistis. Ia menilai wajar jika terdapat beberapa aspek budaya yang sama antara Indonesia dan Malaysia karena kedua negeri ini serumpun bahkan bertetangga dekat.
Rais bahkan meragukan ada pihak yang bisa membuktikan bahwa lagu Rasa Sayange adalah murni hasil karya Indonesia. “Menurut saya, Indonesia atau pihak-pihak lain tidak akan mampu membuktikan komposer lagu Rasa Sayang itu,” kata Rais dalam jumpa pers yang dikutip kantor berita Bernama pada Oktober 2007.
Tak dinyana, Februari 2012, tim peneliti dari Bandung Fe Institute merilis hasil riset mereka yang membuktikan, lagu Rasa Sayange berada sangat jauh dari cabang pohon lagu-lagu Melayu. Penelitian ini membuktikan bahwa klaim Rais Yatim keliru dan Indonesia secara saintifik dapat membuktikan asal lagu Rasa Sayange.
Dari riset mereka, terlihat bahwa secara struktur nada, durasi, kepadatan, dinamika, keragaman melodi, dan tingkat kompleksitas, lagu Rasa Sayange memiliki karakteristik yang sangat dekat dengan lagu-lagu tradisional dari daerah Maluku. Karakteristik ini sangat berbeda dengan kelompok lagu dari Riau yang dekat dengan karakteristik lagu tradisional Malaysia.
Tim peneliti Bandung Fe Institute ini mengembangkan metode fisika mekanika statistik untuk mengeksplorasi lagu tradisional Indonesia. Hasil analisis tersebut lalu dikomposisikan menggunakan pendekatan biologi evolusioner menjadi pohon filomemetika lagu tradisional Indonesia. Penelitian ini pun dapat melihat pola evolusi lagu tradisional Indonesia. Rasa Sayange terbukti lagu asli Indonesia.
Tari Tor-tor dan Gordang Sambilan
Minggu, 17 Juni 2012, masyarakat Indonesia mulai ramai membicarakan “klaim” Malaysia atas Tari Tor-tor dan Gordang Sambilan. Keriuhan ini berasal dari berita di situs Bernama yang menyatakan Malaysia akan meregistrasi tari Tor-tor dan Gordang Sambilan sebagai peninggalan nasional mereka berdasarkan Bab 67 Undang-undang Peninggalan Nasional 2005.
Rais Yatim menyatakan, mempromosikan kebudayaan dan seni asal Mandailing penting untuk mempererat persatuan. Namun rakyat Indonesia keburu murka. Ini kasus kesekian yang menyulut perseteruan budaya kedua negara.
Ramli Abdul Karim Hasibuan, Presiden Persatuan Halak Mandailing Malaysia, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat perhimpunan warga keturunan Mandailing di jiran, mengklarifikasi. Ia menjelaskan, organisasinya lah yang mengajukan permohonan kepana pemerintah Malaysia untuk mengakui Tari Tor-tor dan Gordang Sembilan.
Tujuannya, agar kesenian rakyat Mandailing tersebut bisa berdiri setara dengan kebudayaan Jawa, Minang, dan Banjar di Malaysia. “Kami ingin diakui bahwa kami eksis di Malaysia,” kata Ramli. Rais Yatim pun menyanggupi. Ia meneliti dulu kebudayaan Mandailing sebelum menyetujui permintaan itu.
Ramli mengatakan, Tari Tor-tor dan Gordang Sembilan telah mendarah daging di tengah rakyat Malaysia. Tarian ini sering dimainkan saat perkawinan atau acara-acara perayaan lainnya. Dimasukkannya Tor-tor ke dalam Warisan Kebangsaan Malaysia, tegas dia, bukan untuk klaim negara, melainkan demi pelestarian agar budaya itu tidak hilang.
“Apabila tarian Tor-tor sudah terdaftar, maka kami akan mendapat anggaran dari kementerian untuk melestarikan budaya ini. Atau bahkan kementerian akan membuat satu perkumpulan tari Tor-tor dan Gordang Sembilan,” kata Ramli. Suatu keuntungan bagi pelestarian budaya Mandailing.
Jadi, Ramli menekankan, warisan budaya itu bukan berarti klaim pemerintah. “Dalam akta tahun 2005 tersebut dikatakan, kebudayaan yang terdaftar dipelihara atau dipertahankan, tetapi kepemilikannya tetap kepada asal-usul negara, yaitu Indonesia. Tidak dimiliki pemerintah Malaysia,” lanjutnya lagi.
Ramli menjelaskan, jumlah warga suku Mandailing di Malaysia mencapai 500.000 orang. Warga Mandailing, telah ada di Malaysia sejak tahun 1800, sebelum negara Indonesia dan Malaysia berdiri. “Kami tidak mengatakan Tor-tor itu punya kami. Tor-tor itu punya rakyat Mandailing, Sumatera Utara. Di manapun Anda berada, jika bicara Tor-tor, maka itu milik orang Mandailing,” ujarnya. (umi)
0 komentar:
Posting Komentar