Dalam Agama Buddha tidak ada peraturan yang
mewajibkan apakah jenazah seorang umat Buddha harus diperabukan atau dimakamkan.
Pilihan atas dua macam cara umum itu ataupun cara-cara lainnya [misalnya
disumbangkan ke rumah sakit untuk penelitian medis] dianggap sebagai hak asasi
yang bersangkutan. Apabila ada pesan yang disampaikan sebelum meninggal dunia,
pesan itulah yang layak dipenuhi sebagai suatu penghormatan terhadap orang yang
mati. Seandainya tidak ada pesan yang ditinggalkan, hal ini tergantung
keputusan sanak keluarga yang bersangkutan.
Walaupun tidak ada peraturan yang bersifat
wajib, perabuan menempati prioritas tertinggi dalam tradisi Buddhis. Ini
bersumber pada Mahaparinibbana Sutta. Dalam wejangan terakhir tersebut, Buddha
Gotama meninggalkan pesan kepada Ananda Thera untuk memperabukan jenazah-Nya.
Sumber-sumber lain dalam Kitab Suci Tipitaka menunjukkan bahwa para siswa utama
Beliau juga memilih perabuan. Dengan pertimbangan ini, kiranya layak bagi umat
Buddha untuk menerapkan serta melestarikan cara ini.
Ada sementara umat
Buddha yang menghindari perabuan dengan alasan kasihan yang mati akan kepanasan
karena terbakar api. Ini adalah suatu alasan dangkal yang bersifat
kekanak-kanakan. Kematian adalah perpisahan mutlak antara tubuh jasmaniah
dengan unsur-unsur batiniah. Makhluk yang sudah mati tidak lagi memiliki
perasaan, ingatan, corak batin serta kesadaran. Karena itu, ia sudah tidak akan
merasa apa pun atas jenazah yang ditinggalkannya. Lagipula, kalaupun ada
perasaan semacam itu, apakah ia tidak akan merasa kepengapan apabila
dikubur/dipendam dalam tanah? Adakah cara lain yang lebih baik?
'Perabuan' adalah terjemahan baku kata `cremation' (kremasi). Kata ini
sesungguhnya berasal dari kata Latin 'cremo' yang secara harfiah berarti
`membakar' -khususnya pembakaran jenazah.
Kebanyakan ahli purbakala memprakirakan bahwa
perabuan diperkenalkan sebagai suatu cara memusnahkan mayat pada Zaman Batu
-sekitar 3,000 tahun Sebelum Masehi. Cara yang agaknya pertama kali dipakai di
Eropah atau Timur Dekat ini kemudian dipakai secara umum di Yunani (800 SM) dan
Roma (600 SM). Perabuan merupakan lambang kebesaran (status symbol). Ketika
Kristen menjadi agama-negara Kekaisaran Roma pada sekitar tahun 100 Masehi,
tatkala banyak penganut agama lain diasingkan dan dibinasakan, pemakaman
(penguburan jenazah) merupakan sate-satunya cara yang dipakai di seluruh
penjuru Eropah. Tepatnya pada tahun 1886, Gereja Roman Katholik secara resmi
melarang pelaksanaan perabuan jenazah. Jemaat gereja yang ketahuan mengatur
penyelenggaraannya akan dikucilkan (excommunicated). Ini berlangsung hingga masa
Perang Dunia ke-II. Pada tahun 1961, Patrick Konstantinopel dari Gereja
Orthodoks Timur memfatwakan bahwa: "Memang tidak ada peraturan orthodoks
yang resmi terhadap perabuan, namun ada adat-istiadat yang kuat serta rasa
kecenderungan terhadap pemakaman ala Kristen."
Ada dua alasan utama yang
melandasi penolakan terhadap perabuan. Yang pertama adalah kekhawatiran yang
berkaitan dengan kebangkitan tubuh dari mati serta penyatuan kembali dengan roh
kekal sebagaimana yang dijanjikan. Apabila mayatnya dibakar hingga musnah tak
berbekas, d.ikhawatirkan akan timbul masalah dalam penyatuan jasmaniah-rohaniah
tersebut. Ini bersumberkan pada Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di
Korintus 15:35-44. Alasan kedua, dalam masyarakat Israel kuno, pembakaran mayat
lazimnya hanya diperuntukkan bagi para penyembah berhala, orang berdosa, pelaku
kejahatan serta musuh. Dalam Kitab Kejadian 38:24, misalnya, dituliskan bahwa
Yehuda memerintahkan agar menantu wanitanya yang sedang hamil anak kembar
dibakar hingga mati karena dituduh telah melakukan perzinahan. Apabila seorang
laki-laki menikahi wanita sekaligus ibunya, menurut Kitab Imamat 20:14, itu
merupakan suatu perzinahan. Ketiga orang itu harus dibakar dalam api. Dalam
bait ke 21:9, hukuman yang sama dija tuhkan kepada anak wanita seorang imam
yang menjadi pelacur. Bahkan Tuhan sendiri, sebagaimana yang dikisahkan dalam
Kitab Bilangan 16:35, memberangus Korah beserta 250 orang Israel karena
menentang Nabi Musa. Sumber-sumber lain dalam Kitab Perjanjian Lama dapat
dijumpai di Keluaran 32:20, Yosua 7:15-25, Hakim-Hakim 15:6, I Samuel 31:11-13,
II Raja-raja 10:26, Yeremia 29:22, Amos 2:1. Sementara itu, sumber dalam Kitab
Perjanjian Baru terdapat dalam Wahyu kepada Yohanes 20:15.
Para penganut Agama
Kristen cenderung memilih pemakaman karena cara inilah dikehendaki oleh Tuhan
terhadap jenazah Nabi Musa (Yosua 34:6). Surat Paulus yang Pertama kepada
Jemaat di Korintus 15:35¬44 menceritakan bagaimana Tuhan membangkitkan tubuh
orang-orang yang percaya. Sumber-sumber lain bertebaran di Kitab Kejadian,
Yosua, Matius, Kisah Para Rasul.
Karena sedemikian besar manfaat serta
kepraktisan perabuan dibandingkan dengan pemakaman (dengan segala dampak
negatifnya: pencemaran lingkungan, pemborosan tempat, biaya dan sebagainya);
pada zaman modern sekarang ini banyak orang yang memilih perabuan jenazah
meskipun kurang begitu bersesuaian dengan ajaran agama yang dipercayai. Di
kebanyakan negara besar di Eropah, lebih dari separo memakai cara perabuan. Di
Jepang, perabuan yang pernah dilarang pada tahun 1875, kini diterapkan secara
hampir menyeluruh.( Perabuan telah dikenal di Jepang sejak tahun 703 Masehi;
hingga tahun 1644 semua kaisar diperabukan ) Di Amerika Serikat dan Kanada,
telah dibangun lebih dari 30,000 tempat perabuan (crematorium) dengan statistik
lebih dari setengah juta jenazah per tahun.
0 komentar:
Posting Komentar