20 Jun 2012

DI KREMASI ATAU DI MAKAMKAN ?

Dalam Agama Buddha tidak ada peraturan yang mewajibkan apakah jenazah seorang umat Buddha harus diperabukan atau dimakamkan. Pilihan atas dua macam cara umum itu ataupun cara-cara lainnya [misalnya disumbangkan ke rumah sakit untuk penelitian medis] dianggap sebagai hak asasi yang bersangkutan. Apabila ada pesan yang disampaikan sebelum meninggal dunia, pesan itulah yang layak dipenuhi sebagai suatu penghormatan terhadap orang yang mati. Seandainya tidak ada pesan yang ditinggalkan, hal ini tergantung keputusan sanak keluarga yang bersangkutan.
Walaupun tidak ada peraturan yang bersifat wajib, perabuan menempati prioritas tertinggi dalam tradisi Buddhis. Ini bersumber pada Mahaparinibbana Sutta. Dalam wejangan terakhir tersebut, Buddha Gotama meninggalkan pesan kepada Ananda Thera untuk memperabukan jenazah-Nya. Sumber-sumber lain dalam Kitab Suci Tipitaka menunjukkan bahwa para siswa utama Beliau juga memilih perabuan. Dengan pertimbangan ini, kiranya layak bagi umat Buddha untuk menerapkan serta melestarikan cara ini.
Ada sementara umat Buddha yang menghindari perabuan dengan alasan kasihan yang mati akan kepanasan karena terbakar api. Ini adalah suatu alasan dangkal yang bersifat kekanak-kanakan. Kematian adalah perpisahan mutlak antara tubuh jasmaniah dengan unsur-unsur batiniah. Makhluk yang sudah mati tidak lagi memiliki perasaan, ingatan, corak batin serta kesadaran. Karena itu, ia sudah tidak akan merasa apa pun atas jenazah yang ditinggalkannya. Lagipula, kalaupun ada perasaan semacam itu, apakah ia tidak akan merasa kepengapan apabila dikubur/dipendam dalam tanah? Adakah cara lain yang lebih baik?
'Perabuan' adalah terjemahan baku kata `cremation' (kremasi). Kata ini sesungguhnya berasal dari kata Latin 'cremo' yang secara harfiah berarti `membakar' -khususnya pembakaran jenazah.
Kebanyakan ahli purbakala memprakirakan bahwa perabuan diperkenalkan sebagai suatu cara memusnahkan mayat pada Zaman Batu -sekitar 3,000 tahun Sebelum Masehi. Cara yang agaknya pertama kali dipakai di Eropah atau Timur Dekat ini kemudian dipakai secara umum di Yunani (800 SM) dan Roma (600 SM). Perabuan merupakan lambang kebesaran (status symbol). Ketika Kristen menjadi agama-negara Kekaisaran Roma pada sekitar tahun 100 Masehi, tatkala banyak penganut agama lain diasingkan dan dibinasakan, pemakaman (penguburan jenazah) merupakan sate-satunya cara yang dipakai di seluruh penjuru Eropah. Tepatnya pada tahun 1886, Gereja Roman Katholik secara resmi melarang pelaksanaan perabuan jenazah. Jemaat gereja yang ketahuan mengatur penyelenggaraannya akan dikucilkan (excommunicated). Ini berlangsung hingga masa Perang Dunia ke-II. Pada tahun 1961, Patrick Konstantinopel dari Gereja Orthodoks Timur memfatwakan bahwa: "Memang tidak ada peraturan orthodoks yang resmi terhadap perabuan, namun ada adat-istiadat yang kuat serta rasa kecenderungan terhadap pemakaman ala Kristen."
Ada dua alasan utama yang melandasi penolakan terhadap perabuan. Yang pertama adalah kekhawatiran yang berkaitan dengan kebangkitan tubuh dari mati serta penyatuan kembali dengan roh kekal sebagaimana yang dijanjikan. Apabila mayatnya dibakar hingga musnah tak berbekas, d.ikhawatirkan akan timbul masalah dalam penyatuan jasmaniah-rohaniah tersebut. Ini bersumberkan pada Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 15:35-44. Alasan kedua, dalam masyarakat Israel kuno, pembakaran mayat lazimnya hanya diperuntukkan bagi para penyembah berhala, orang berdosa, pelaku kejahatan serta musuh. Dalam Kitab Kejadian 38:24, misalnya, dituliskan bahwa Yehuda memerintahkan agar menantu wanitanya yang sedang hamil anak kembar dibakar hingga mati karena dituduh telah melakukan perzinahan. Apabila seorang laki-laki menikahi wanita sekaligus ibunya, menurut Kitab Imamat 20:14, itu merupakan suatu perzinahan. Ketiga orang itu harus dibakar dalam api. Dalam bait ke 21:9, hukuman yang sama dija tuhkan kepada anak wanita seorang imam yang menjadi pelacur. Bahkan Tuhan sendiri, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Bilangan 16:35, memberangus Korah beserta 250 orang Israel karena menentang Nabi Musa. Sumber-sumber lain dalam Kitab Perjanjian Lama dapat dijumpai di Keluaran 32:20, Yosua 7:15-25, Hakim-Hakim 15:6, I Samuel 31:11-13, II Raja-raja 10:26, Yeremia 29:22, Amos 2:1. Sementara itu, sumber dalam Kitab Perjanjian Baru terdapat dalam Wahyu kepada Yohanes 20:15.
Para penganut Agama Kristen cenderung memilih pemakaman karena cara inilah dikehendaki oleh Tuhan terhadap jenazah Nabi Musa (Yosua 34:6). Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 15:35¬44 menceritakan bagaimana Tuhan membangkitkan tubuh orang-orang yang percaya. Sumber-sumber lain bertebaran di Kitab Kejadian, Yosua, Matius, Kisah Para Rasul.
Karena sedemikian besar manfaat serta kepraktisan perabuan dibandingkan dengan pemakaman (dengan segala dampak negatifnya: pencemaran lingkungan, pemborosan tempat, biaya dan sebagainya); pada zaman modern sekarang ini banyak orang yang memilih perabuan jenazah meskipun kurang begitu bersesuaian dengan ajaran agama yang dipercayai. Di kebanyakan negara besar di Eropah, lebih dari separo memakai cara perabuan. Di Jepang, perabuan yang pernah dilarang pada tahun 1875, kini diterapkan secara hampir menyeluruh.( Perabuan telah dikenal di Jepang sejak tahun 703 Masehi; hingga tahun 1644 semua kaisar diperabukan ) Di Amerika Serikat dan Kanada, telah dibangun lebih dari 30,000 tempat perabuan (crematorium) dengan statistik lebih dari setengah juta jenazah per tahun.
Sumber : Internet

0 komentar:

Posting Komentar