Dari Cengkeh Jadi yang Terkaya Salah
satu konglomerat paling terkemuka di era Orde Baru yang kerap menjadi
langganan dalam daftar papan atas orang terkaya Indonesia, Liem Sioe
Liong atau Sudono Salim, Minggu (10/6) pukul 16.00 meninggal dunia di
Raffles Hospital Singapura. Taipan yang akrab dipanggil Om Liem itu
wafat pada usia 96 tahun di negara tempat ia ”mengungsi” dan
mengendalikan bisnisnya sejak pecah kerusuhan Mei 1998. Menurut
keterangan pihak keluarga, Om Liem meninggal karena sakit tua. Belum
diketahui di mana dia akan dimakamkan, di Indonesia atau di Singapura.
Liem
Sioe Liong yang mulai mengenal Indonesia pada usia 20 tahun, lahir di
Fukien, China, 10 September 1915 (versi lain menyebutkan 16 Juli 1916).
Ia menikahi Lie Las Nio (Lilani) dan memiliki empat anak, masing-masing
Albert, Andre Halim, Anthony Salim, dan Mira.
Ia merupakan
pendiri dan pemilik Central Bank Asia (1957) yang kemudian berubah nama
menjadi Bank Central Asia (BCA) pada 1960. Om Liem juga pendiri dan
pemilik Grup Salim, PT Bogasari Flour Mill, PT Mega, Bank Windu Kencana,
PT Hanurata, PT Indocement, dan PT Waringin Kencana.
Sukses
bisnis itu dirintis dengan proses panjang. Awalnya, bersama Liem Sioe
Hie, kakak tertuanya, Liem Sioe Liong yang merupakan anak kedua dari
tiga bersaudara itu membantu paman mereka yang berdagang minyak kacang
di Kudus. Liem Sioe Hie lebih dulu beremigrasi ke Indonesia, yakni pada
1922, yang waktu itu masih jajahan Belanda. Di tengah hiruk pikuk
ekspansi Jepang ke Pasifik, pada 1938 Liem Sioe Liong mengikuti jejak
abangnya. Dari Fukien, ia berangkat ke Amoy, tempat sebuah kapal dagang
Belanda bersandar. Kapal itulah yang membawanya menyeberangi laut menuju
Indonesia.
Sejak dulu, Kudus terkenal sebagai pusat pabrik rokok
keretek, yang membutuhkan banyak bahan baku tembakau dan cengkih.
Bisnis itulah yang kemudian digeluti Liem. Sejak zaman revolusi ia pun
terlatih menjadi pemasok cengkih dengan jalan menyelundupkan bahan baku
tersebut dari Maluku, Sumatera, dan Sulawesi Utara melalui Singapura,
kemudian melalui jalur-jalur khusus penyelundupan menuju Kudus.
Tak
heran, dagang cengkih merupakan salah satu pilar utama bisnis Liem Sioe
Liong yang pertama, di samping tekstil. Dia mengimpor banyak produksi
tekstil murahan dari Shanghai. Usahanya berkembang pesat. Untuk
melicinkan semua usahanya, Liem lantas mendirikan beberapa bank seperti
Bank Windu Kencana dan Bank Central Asia. Pada 1970-an, BCA tumbuh
menjadi bank swasta kedua terbesar di Indonesia dengan total aset 99
juta dolar AS.
Selain BCA, Grup Salim yang dibangunnya setapak
demi setapak antara lain meliputi Indofood, Indomobil, Indocement,
Indosiar, Indomaret, Indomarco, dan lain-lain. Menurut majalah Warta
Ekonomi, aset Grup Salim diperkirakan mencapai Rp 39,4 triliun, berada
di urutan ke-6 konglomerat Indonesia. Adapun Anthoni Salim merupakan
orang terkaya ke-11 di Indonesia.
Jangan Curang
Dari
berbagai usaha, keluarga Salim memiliki ratusan bisnis yang terdiri
atas berbagai divisi, mulai perdagangan, industri, bank dan asuransi,
divisi pengembangan (yang bergerak di bidang hasil hutan dan konsesi
hutan), properti yang bergerak di bidang real estate, perhotelan, dan
pemborong, divisi perdagangan eceran, hingga joint venture. Setiap
divisi membawahi beberapa perusahaan raksasa berbentuk
perseroan-perseroan terbatas.
Begitu hebat gurita bisnis yang
dibangunnya, Om Liem pernah menduduki peringkat pertama sebagai orang
terkaya di Indonesia dan Asia. Bahkan, ia pernah masuk daftar ”100 Orang
Terkaya di Dunia”.
Apa rahasianya, hingga bisa jadi pengusaha
besar? Om Liem punya bakat dan naluri bisnis yang luar biasa. Kedua, ia
mengembangkan sifat-sifat pekerja keras, pantang menyerah, dan tekun. Ia
menyebut, jika ingin sukses, jangan berpangku tangan saja. Semasa muda,
bekerjalah habis-habisan. Bersemangatlah dan efektif dalam menggunakan
waktu. Jangan cuti lama-lama, jangan selalu jalan-jalan, dan jangan
tidur cepat. Jangan pula mudah menyerah pada kesulitan.
Selain
itu, ia menekankan kejujuran. Orang yang sukses dengan cara curang pasti
akan segera gulung tikar. Karena itu, lebih baik untung sedikit, namun
diusahakan secara jujur dan ikhlas. Kita bisa tidur lebih nyenyak dan
tidak punya beban.
”Memang benar, pengusaha harus banyak akal,” kata Om Liem suatu ketika. ”Tapi, jangan curang. Jangan ambil milik orang lain.” Di
era Orde Baru, bersama-sama bos Sinar Mas Grup Eka Tjipta Widjaya, bos
Lippo Group Mochtar Riady, Henry Pribadi, Sudwikatmono, dan Ibrahim
Risjad, Om Liem dikenal sebagai taipan yang cukup dekat dengan Presiden
Soeharto. Mereka kerap dilibatkan penguasa Orde Baru itu dalam sejumlah
kegiatan bisnis dan proyek pembangunan di Tanah Air.
Seiring
dengan jatuhnya rezim Soeharto tahun 1998, kebesaran bisnis Om Liem dan
Grup Salim yang belakangan pengelolaannya diserahkan kepada Anthony
Salim mulai terkikis. Om Liem bahkan terpaksa hijrah ke Singapura tak
lama setelah kerusuhan Mei 1998. Peristiwa tersebut menjadi catatan kelam bagi dia, karena rumahnya yang berada di Jl Gunung Sahari, Jakarta, diobrak-abrik dan porak-poranda diamuk massa. Sejak saat itu, bos Indofood ini trauma pulang ke Indonesia. Grup
Salim kembali bangkit berkat kerja keras Anthony Salim. Setelah
mendapat surat lunas utang tahun 2004 dari pemerintahan Presiden
Megawati, Indofood dan perusahaan lainnya makin berjaya dengan merambah
pasar internasional.
Harta Om Liem dan keluarganya juga masih
jumbo. Omzet bisnisnya diperkirakan tak kurang dari 1 miliar dolar AS
setahun. Om Liem juga disebut-sebut masih memiliki kekayaan pribadi tak
kurang dari 1,9 miliar dolar AS. (Fauzan Jayadi, Hartono Harimurti-59)
(Photo courtesy of Tempo) |
|
0 komentar:
Posting Komentar