Jakarta |Stiven Blogspot-
Pemerintah kembali mencuatkan ide penyatuan zona waktu di Indonesia.
Tujuannya untuk memudahkan bisnis dan memeratakan perekonomian. Tapi apa
dampak yang penyatuan tiga zona waktu?
"Ada beberapa adaptasi masa
transisi yang harus dibayar," ujar dosen astronomi Institut Teknologi
Bandung Moedji Raharto ketika dihubungi Senin, 12 Maret 2012.
Pengaturan yang diubah adalah semua yang berhubungan dengan waktu, seperti perbankan, transportasi, dan komunikasi. "Yang tak kalah mahal adalah perubahan pola hidup," ujar dia.
Jika patokannya adalah Waktu Indonesia Tengah (Wita), maka warga di barat Indonesia harus beraktivitas lebih awal. Adapun tetangganya di timur Indonesia justru bisa beraktivitas lebih santai. Sebab, waktu di Indonesia selisih satu jam antar-zona. Kawasan barat dengan GMT ditambah tujuh jam, tengah dengan GMT ditambah delapan jam, dan timur dengan GMT ditambah sembilan jam.
"Ibu-ibu dan asisten rumah tangga di kawasan barat harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan," kata Moedji.
Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan Antariksa (Lapan) Thomas Djamaluddin menilai penyatuan zona waktu belum tentu efektif. Ada dampak sosial politik, ekonomi, psikologi, dan biologis terhadap masyarakat.
Dari sisi sosial politik, Thomas menguraikan, perlu dilihat kondisi geografisnya. Semisal Amerika Serikat yang memiliki empat zona waktu yang memang dibatasi musim yang dengan ada masanya matahari bersinar lebih lama atau lebih cepat. Sehingga demi efisiensi diberlakukan dayligh saving time. "Indonesia tidak perlu karena tidak ada variasi signifikan matahari terbit dan terbenam," kata Thomas.
Secara ekonomi, pembagian waktu tentu akan mempengaruhi energi dan efisiensi jam kerja. Terakhir dari sisi psikologis dan biologis, rutinitas manusia normal biasa dimulai sesudah matahari terbit, lalu istirahat di tengah hari.
Di Cina pun, Thomas menjelaskan, meski ada penyatuan empat zona waktu, ternyata jam awal kerjanya berbeda-beda. "Tiap daerah memulai jam kerjanya beda-beda karena variasi terbit dan terbenamnya matahari yang tidak bisa seragam," katanya. Jadi, Indonesia harus mempertimbangkan aktivitas ini.
Pemerintah berencana menyatukan zona waktu dari semula tiga menjadi satu. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Radjasa, penyatuan ini akan menghemat keuangan negara dan secara ekonomi mendatangkan keuntungan.
Pengaturan yang diubah adalah semua yang berhubungan dengan waktu, seperti perbankan, transportasi, dan komunikasi. "Yang tak kalah mahal adalah perubahan pola hidup," ujar dia.
Jika patokannya adalah Waktu Indonesia Tengah (Wita), maka warga di barat Indonesia harus beraktivitas lebih awal. Adapun tetangganya di timur Indonesia justru bisa beraktivitas lebih santai. Sebab, waktu di Indonesia selisih satu jam antar-zona. Kawasan barat dengan GMT ditambah tujuh jam, tengah dengan GMT ditambah delapan jam, dan timur dengan GMT ditambah sembilan jam.
"Ibu-ibu dan asisten rumah tangga di kawasan barat harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan," kata Moedji.
Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan Antariksa (Lapan) Thomas Djamaluddin menilai penyatuan zona waktu belum tentu efektif. Ada dampak sosial politik, ekonomi, psikologi, dan biologis terhadap masyarakat.
Dari sisi sosial politik, Thomas menguraikan, perlu dilihat kondisi geografisnya. Semisal Amerika Serikat yang memiliki empat zona waktu yang memang dibatasi musim yang dengan ada masanya matahari bersinar lebih lama atau lebih cepat. Sehingga demi efisiensi diberlakukan dayligh saving time. "Indonesia tidak perlu karena tidak ada variasi signifikan matahari terbit dan terbenam," kata Thomas.
Secara ekonomi, pembagian waktu tentu akan mempengaruhi energi dan efisiensi jam kerja. Terakhir dari sisi psikologis dan biologis, rutinitas manusia normal biasa dimulai sesudah matahari terbit, lalu istirahat di tengah hari.
Di Cina pun, Thomas menjelaskan, meski ada penyatuan empat zona waktu, ternyata jam awal kerjanya berbeda-beda. "Tiap daerah memulai jam kerjanya beda-beda karena variasi terbit dan terbenamnya matahari yang tidak bisa seragam," katanya. Jadi, Indonesia harus mempertimbangkan aktivitas ini.
Pemerintah berencana menyatukan zona waktu dari semula tiga menjadi satu. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Radjasa, penyatuan ini akan menghemat keuangan negara dan secara ekonomi mendatangkan keuntungan.
0 komentar:
Posting Komentar