14 Mei 2012

Masa PRA Sailendra

PRA SAILENDRA
Śailendra adalah nama wangsa atau dinasti yang sebagian besar raja-rajanya menganut agama Buddha Mahāyāna yang berkuasa di Mdaŋ Kerajaan Mataram Kuno sejak tahun 752. Wangsa ini hidup berdampingan dengan Wangsa Sañjaya yang berkuasa sejak tahun 732, di daerah Jawa Tengah bagian selatan. Namun dalam pembahasan ini kita hanya membahas masa Pra Sailendra.
Di Indonesia nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam Prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi. Sebelum masa ini masyarakat Indonesia masih tergolong Primitif. Kehidupan masyarakat pada masa itu masih sangat tergantung pada alam. Selain itu mereka belum mengenal istilah agama, yang ada pada saat itu hanyalah kepercayaan, karena istilah agama berasal dari bahasa sansekerta yang berarti “tidak kacau”. Seorang ilmuan inggris Edward Burnet Taylor (1832-1917), dalam bukunya yang terkenal “The Primitif Culture” (1872), mengatakan bahwa pada masa tersebut kepercayaan masyarakat dikenal dengan sebutan Animisme dan Dinamisme.
Animisme dan Dinamisme
Animisme
Kepercayaan animisme (dari bahasa Latin anima atau "roh") adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul di kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme mempercayai bahawa setiap benda di Bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pokok atau batu besar), mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam kehidupan seharian mereka.
Selain daripada jiwa dan roh yang mendiami di tempat-tempat yang dinyatakan di atas, kepercayaan animisme juga mempercayai bahawa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan.
Animisme atau Animisma (Latin) berarti Jiwa atau faham keagamaan juga pada manusia primitive yang mempercayai adanya ruh pada masyarakat animis. Pertama : Penyembahan terhadap ruh atau makhluk halus yang keluar dari orang mati. Kedua : penyembahan terhadap makhluk halus yang menjadi unsur sendirinya. Contohnya bila orang meninggal, maka rohnya dianggap hidup lagi dan roh tersebut dapat bertemu dengan roh manusia yang masih hidup. Ia bisa menolong atau sebaliknya mengganggu. Dan agar ruh itu mendatangkan kebaikan, maka dibuatlah upacara penyembahan.
Roh yang dianggap berbahaya bagi orang hidup, bukan saja berasal dari manusia, tetapi juga, binatang, tumbuh-tumbuhan, batu, dan benda-benda lain.(lihat : "Antropolog, suatu pengantar, Koentaraningrat hlm 73).
 

Dinamisme
Perkataan dinamisme berasal dari kata yang terdapat dalam bahasa Yunani, yaitu, dunamos dan diinggriskan menjadi dynamic yang umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan dapat juga diterjemahkan dengan daya.
Dalam Ensiklopedi umum dijumpai defenisi dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan premitif pada zaman sebelum kedatangan agama Hindu di Indonesia. Dinamisme disebut juga preanismisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai mana (percaya adanya kekuatan yang maha yang berada dimana-mana).
T.S.G. Mulia menerangkan dinamisme sebagai suatu kepercayaan bahwa pada berbagai benda terdapat suatu kekuatan atau kesaktian, misalnya dalam api, batu-batu, tumbuh-tumbuhan, pada beberapa hewan dan juga manusia.
Dalam uraian tentang dinamisme terdapat beberapa pengertian atau defenisi yang diberikan terhadap dinamisme itu yang menghubungkannya langsung dengan agama. Ada yang mengatakan dinamisme sebagai sejenis paham dan perasaan keagamaan, ada juga yang mengatakan sebagai kepercayaan keagamaan dan juga sebagai salah satu macam bentuk struktur dari agama premitif.
Semua pengertian ini memperlihatkan suatu sikap yang sama yaitu keragu-raguan dalam menetapkan apakah dinamisme itu termasuk agama atau bukan, dengan kata lain orang tidak berani (tentu dengan alasan-alasan yang objektif) berkata bahwa dinamisme itu adalah agama atau sebaliknya, dinamisme itu bukan agama.
Kembali kepada dinamisme, maka dinamisme timbul dari perasaan takjub, takut dan merasa bahwa dirinya kecil sebagai manusia dan bergantung kepada daya-daya kekuatan sekitarnya. Mereka melihat sesuatu yang bersifat ilahi di dunia ini, tapi tidak dilukiskannya dalam pikiran sebagai sesuatu yang berpribadi.
RITUAL
C. Pemujaan Leluhur
1. Bentuk bentuk pemujaan leluhur
            Pemujaan atau penghormatan terhadap leluhur adalah maifestasi dari bermacam-macam sikap terhadap orang yang telah meninggal di kalangan suku bangsa primitif. Sikap terhadap orang yang sudah meninggal ditentukan oleh kelestarian hubungan yang disebabkan ‘mati’ dalam hubungannya dengan akibat-akibat yang membawa keuntungan dalam kaitannya dengan hubungan yang baik antara orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang sudah mati.
Cara-cara pemujaannya dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
a. Selamatan,
b. Sesaji,
c. dan Pembacaan mantra.
2. Identifikasi Pemujaan Leluhur.
a. Selamatan
            Selamatan adalah suatu upacara makan bersama dan makanan telah diberi doa atau mantra sebelum dibagi-bagikan. Selamatan mempunyai hubungan yang eratv dengan kepercayaan animisme dan dinamisme pada unsur-unsur kekuatn sakti maupun mahluk-mahluk diluar manusia seperti mahluk halus dan para dewa. Upacara selamata dalam animisme dan dinamisme selalu dilakukan secara turun temurun dan usaha untuk lebih memuliakan dan mengagungkan mahluk-mahluk halus maupun benda-benda yang mengandung kekuatan.
b. Sajian
            Sajian adalah penyerahan sajian pada saat-saat tertentu dalam ragam kepercayaan terhadap mahluk halus di tempat- tempat tertentu. Sajian ini biasanya ditempatkan di tempat-tempat keramat yang mengandung kekuatan gaib seperti makam tua, gua, di bawah pohon beringin yang rindang dan sebaginya. Tempat-tempat ini dianggap keramat, suci, dan dijadikan tempat untuk meminta terkabulnya suatu hajad.
            “Sesajian merupakan ramuan dari tiga macam bunga (kembang telon), kemenyan, uang recehan, dan kue apem, yang ditaruh dibesak kecil atau bungkusan daun pisang” (Koentjoroningrat, 1999). Ada sesaji yang dibuat pada Selasa keliwon dan Jumat kliwon untuk daerah Jawa tengah dan Jawa Barat, pada hari JumatLlegi untuk daerah jawa Timur. Perlengkapan untuk seaji ini sangat sederhana karena hanya terdiri dari tiga macam bunga yang dimasukan kedalam gelas yang telah diisi setengah air dan bersama- sama sebuah pelita ditempatkan diatas meja, ditunjukan agar roh-roh tidak menggangu ketentraman anggota keluarga.
c. Pembacaan Mantra
            Pelaksanaan ritual kepercayaan animisme dengan membaca mantra-mantra dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur pada Tuhan karena telah diberikan apa yang menjadi harapannya. Selain itu, juga dilakukan sebagai rasa bakti kepada mahluk yang diyakinin sebagai pencipta, pengatur, serta pemelihara alam semesta.
            Kepercayaan animisme dalam pelaksanaan ritual selalu ditekankan dengan suatu keharusan dilakukan, dimana ritual tersebut telah diturunkan oleh nenek moyang mereka hingga sekarang. Mereka mempunyai keyakinan dan percaya dengan melaksanakan ritual tersebut akan mendatangkan suatu berkah dan terhindar dari malapetaka atau bencana (Daradjat, 1996)
Referensi:
·         Sosiologi Agama, Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si.
·         Chodron, Thubten. 1995, Tradisi dan Harmoni Bandung, Yayasan Penerbit Karaniya
·         Daradjat, Zakian 1996. Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara.
·         Wikipedia

0 komentar:

Posting Komentar